Rabu, 05 Januari 2011

SEJARAH DEMAK kota WALI

SEJARAH DEMAK
( DEMAK KOTA WALI )


Pembentukan setting kawasan kota-kota di pulau Jawa sangat dipengaruhi oleh perpaduan antara kebudayaan Hindu- Budha, serta Islam. Pada masa perkembangan agama Islam di pulau Jawa-pun, pembentukan setting kawasan lingkungannya pun masih terpengaruh dari unsur Hindu-Budha.
Pada masa perkembangan agama Islam di pulau Jawa, kegiatan religius diberi tempat sebagai bagian sentral dari kekuasaan, sebagai contoh pada kerajaan Demak, tata letak masjid yang sengaja didekatkan pada pusat kekuasaan dari kerajaan Demak. Dasar inilah yang mempengaruhi bentuk setting kawasan dari pusat kota-kota Islam di Jawa
Pengaruh budaya lokal (Hindu-Budha) pada penataan setting kawasan pada masa perkembangan agama Islam pada saat itu terlihat pada kecenderungan perletakaan antara makam dan masjid menjadi suatu komplek, sebenarnya agama Islam sendiri tidak mengajarkan manusia untuk menghormat kepada makam. Ini merupakan pengaruh budaya lokal pada setting kawasan yang ditafsirkan oleh Wali Sanga pada saat itu. Bahkan para Wali tersebut meminta untuk dikuburkan di dekat dengan masjid yang didirikannya, seperti makam dan masjid Sunan Kalijaga di Kadilangu dapat digunakan sebagai contoh. Kaitan antara makam dan pusat peribadatan sebagai suatu tradisi ditunjukkan setelah kerajaan-kerajaan Islam-Jawa berdiri, dari Demak, Kudus, Jepara, sampai Jogjakarta dan Surakarta. Bahkan pada masjid Demak yang pada saat itu merupakan pusat pemerintahan juga menjadi satu dengan kompleks makam pada raja-raja Demak. Melihat peran dan letak masjid dalam perkembangan setting lingkungan di Jawa, bangunan ini menjadi suatu elemen struktur bagi pusat kota, dalam Wiryomartono, A Bagoes P, hal 10
Dalam kenyataan fisiknya, yang disebut kuta atau negara itu selalu memiliki halun-halun, yang lebih dikenal dengan sebutan alun-alun. Sedangkan bentuk alun-alun yang selalu segi empat, berdasar dari alun-alun merupakan pusat orientasi spatial, yang terdiri dari empat unsur pembentuk keberadaan alam/ bhuwana : air, api, bumi, udara. (adat yang dianut oleh masyarakat Jawa). Dasar inilah yang kemudian diturunkan dalam tata ruang pada kawasan alun-alun.


SETTING KAWASAN DEMAK DAHULU

Kota tua Jawa Islam yang hingga kini masih dapat dilihat Struktur setting kawasannya adalah Demak dan Kudus. Bagian kota Demak yang masih banyak meninggalkan petunjuk gagasan negara kota, nampak pada daerah yang kini disebut Kauman, Pecinan, dan Siti Hinggil.






Setting Ibukota Demak Bintoro
(sumber : Solichin Salam, tahun 1960)



Pada setting kawasan ini masjid terletak di pusat kota, ini merupakan pengaruh dari prinsip kerajaan Islam pada saat itu yaitu kegiatan religius juga yang merupakan dasar dari pembentukan setting kawasan pada komplek ziarah makam agama Islam dari Wali Songo itu sendiri, hanya dengan skala yang lebih kecil.Struktur pusat Demak kemungkinan merujuk pada ibukota Majapahit dengan skala yang lebih kecil. Di dalam struktur ini halun-halun menjadi struktur pengikat bagi Dalem/ Keraton maupun masjid yang bersangkutan.



Keadaan Masjid Demak Dahulu
(sumber : Solichin Salam, tahun 1960)



Masjid Agung Demak yang merupakan pusat kegiatan religius dan pemerintahan Demak Bintoro pada saat itu. Pada komplek Masjid Demak sendiri juga menyatu dengan komplek dari makam raja-raja Demak Bintoro beserta karabatnya, yang terletak pada bagian barat dari kompleks masjid.



SETTING KAWASAN DEMAK SEKARANG




Setting kawasan dari pusat kota Demak sendiri didominasi oleh bangunan-bangunan baru, kecuali bangunan Masjid Demak. Bangunan-bangunan yang terdapat di sekitar alun-alun kota Demak antara lain: masjid Demak, penjara, kantor pemerintahan Kota Demak, dan kabupaten sebagai pusat pemerintahan kota Demak sendiri.













Kota Wali

Kota Wali


Melestarikan Tradisi Pemikiran Kota Wali


KabarIndonesia -

Sebuah proses pembangunan adalah cerminan keinginan dari seluruh rakyat untuk mendapatkan sebuah perubahan yang lebih baik dari sebelumnya. Perubahan dari hasil pembangunan sebaiknya tidak hanya perubahan secara fisik saja, melainkan juga tradisi pemikiran juga harus berubah seiring dengan perkembangan zaman. Sebuah Tradisi pemikiran erat kaitanya dengan Nilai Budaya yang berkembang dalam masyarakat. Oleh sebab itu proses perkembangan Nilai Budaya tidak boleh terlewatkan dalam setiap proses pembangunan yang berlangsung. Sebab Nilai Budaya mempunyai hubungan interaksi manusia dengan lingkungan. Secara simple dapat digambarkan sebagai berikut :


NILAI BUDAYA - NORMA - POLA BERPIKIR (TRADISI PEMIKIRAN) - POLA TINDAKAN



Pelestarian sebuah sejarah tidaklah cukup hanya dengan merawat sebuah bangunan sebagai sebuah bukti fisik. Melewatkan sebuah Tradisi pemikiran dari sebuah alur Nilai Budaya berarti telah menghilangkan sebuah kerangka Tradisi pemikiran masa lampau, yang berakibat terpotongnya sebuah jalan pemikiran masa kini untuk menghasilkan sebuah Tradisi pemikiran yang maju dari Nilai Budaya masa lampau. Tradisi pemikiran Import bukanya tidak baik bagi sebuah masyarakat yang menerimanya. Tetapi haruslah perlu diingat bahwa sebuah Tradisi pemikiran selalu mengikutsertakan Nilai Budaya juga yang seringkali masyarakat belum mampu menerimanya. Jadi sebuah Tradisi pemikiran harus selalu dilestarikan mengingat sebuah Nilai Budaya adalah bapak kandung dari Tradisi pemikiran.


Melestarikan bangunan sejarah tanpa memikirkan pelestarian sebuah Tradisi pemikiran ibarat bentuk bangunan yang berdiri tetapi tidak memiliki isi atau sama saja dengan gudang padi yang tidak berisi. Pelestarian harus dilakukan secara bersama-sama dan saling melengkapi. Jika salah satu dilupakan akan mengakibatkan kehilangan keseimbangan pemahaman bagi generasi selanjutnya. Sebuah Tradisi pemikiran jika tidak ditunjang dengan bukti-bukti fisik hanya akan melahirkan sebuah dongeng, sedangkan pelestarian bangunan sejarah tanpa pelestarian Tradisi pemikiran hanya akan melahirkan Mitos-motos yang jauh dari pemikiran Rasionalitas. Selama ini Kota Wali Demak hanyalah menjadi sebuah monumen sejarah tentang kerajaan Islam pertama di pulau Jawa yang didirikan oleh Raden Patah pada tahun 1418m/1403 Th soko dengan ditandai Sinengkelan"GENI MATI SINIRAM JANMI". Peninggalan sejarah di kota Wali Demak yang masih mendapatkan perhatian masyarakat adalah Masjid Agung Demak,Makam Raja-raja Demak dan Makam Kanjeng Sunan Kalijaga di Kadilangu. Tetapi sayangnya sampai saat ini Tradisi pemikiran yang berasal dari Nilai Budaya Agung masa lalu terlindas oleh kebesaran bangunan Masjid Agung, Makam Raja-raja Demak dan Makam Kanjeng Sunan Kalijaga. Para Pengunjung wisata Religius di kota Wali Demak, baik yang berasal dari Demak sendiri maupun dari luar Demak atau bahkan luar negeri pada akhirnya hanya menjumpai Mitos-mitos yang banyak beredar disekitar bangunan Masjid dan Makam. Pengalaman-pengalaman yang bersifat pribadi setelah berkunjung di Masjid Agung Demak, Makam Raja-raja Demak dan Makam Kanjeng Sunan Kalijaga akhirnya menjadi sebuah Tradisi pemikiran baru yang tidak berinduk dari Nilai Budaya agung masa lalu. Sehingga Tradis Pemikiran ini sangat jauh dari Rasionalitas. Mungkin, karena perhitungan PAD yang membutuhkan kalkulasi yang tepat untuk pembangunan menjadi sebuah hambatan dalam penggalian Tradisi pemikiran di kota Wali Demak Hal ini tentu sangat dimaklumi mengingat menggali sebuah Tradisi pemikiran secara kuantitative susah sekali dijelaskan hasilnya. Tetapi dengan melihat kondisi Indonesia sekarang ini yang mengalami degradasi dalam memahami pluralisme, Tradis pemikiran dari kota Wali Demak sangat penting menjadi perhatian..Tradisi pemikiran yang Agung dari kota Wali dimulai dengan Akulturasi kebudayaan, sehingga orang-orang yang memiliki tradisi-tradisi yang lama merasa tidak terpaksa dalam merubah pola pikir mereka. Pendekatan kekuasaan sengaja dihindari mengingat para ulama sufi abad ke-16 yang lebih dikenal dengan sebutan Wali Tanah Jawa pada saat itu memang jauh dari tradisi kekuasaan. Para Wali Tanah Jawa berusaha membangun sebuah nilai budaya baru dalam Syiar agama. Mereka memulai dengan merangkak dari daerah pesisir pantai dengan menciptakan lingkungan budaya baru yang berpusat di Pesantren.


Para Wali Tanah Jawa dalam melakukan Syiar agama memperlakukan dua Kutub Kebudayaan yang ada dengan perlakuan yang berbeda. Lingkungan Kebudayaan luar Istana mayoritas berisikan kaum tani yang masih berpegang sangat erat dengan Adat istiadat Animisme dan Dinamisme didekati dengan pendekatan-pendekatan visual mengingat Tradisi lisan sangat dominan dalam kehidupan masyarakatnya. Pertunjukan-pertunjukan kesenian yang dilakukan oleh Lingkungan Kebudayaan luar Istana secara perlahan-lahan dimasukan ajaran-ajaran Islam. Peran Seorang Kanjeng sunan Kalijaga sebagai seorang yang memahami benar Psikologi Massa pada zaman itu menjadikan kebudayaan menjadi panglima terdepan dalam menyampaikan sebuah Syiar beragama. Beliau memasuki Seni Pewayangan sebagai hiburan massal yang paling populer pada saat itu. Dengan merekayasa cerita dengan memasukan Jimat Kalimasada (dua kalimat syahadat) yang dijadikan pusaka kerajaan amarta (Pandawa).


Sedangkan Kebudayaan dalam Istana yang telah mengenal Tradisi tulisan secara baik ditembus dengan mempelajari Seni Sastra Istana. Syiar dimulai dengan memasukan ajaran Islam dalam sastra Istana. Berbagai macam suluk, wirid dan Primbon bersumber dari Tradisi Pesantren. Setelah dinilai cukup dalam membangun nilai Budaya baru dan melihat realitas yang ada para wali Tanah Jawa ikut mendukung berdirinya sebuah kerajaan Islam Demak. Sedangkan upaya menyatukan nilai Budaya antara lingkungan Istana dan lingkungan di luar Istana ditempuh dengan cara menjaga stabilitas Sosial, Budaya dan Politik untuk mengeliminasi Konflik-konflik. Maka pada zaman Kerajaan Demak bermunculan upacara-upacara keagamaan seperti Sekaten, Greebeg Maulud, Grebeg Hari Raya Haji dan lain-lain. Upacara-upacara keagamaan ini sebagai sarana baik yang bersifat Struktural maupun Kultural demi terciptanya Syiar Islam. Upacara-upacara keagamaan ini secara lahiriah adalah Tradisi kejawen yang diIslamkan.Tradisi pemikiran dari para wali yang berasal dari Akulturasi mulai sedukit demi sedikit menghilang tatkala para wali tergoda berperan dalam kekuasaan dengan melupakan perannya sebagai penyeimbang Kebudayaan sekaligus penyeimbang Tradisi pemikiran.


Konflik-konflik Internal antara para Wali songo dengan Syeh Siti Jenar sebagaimana diceritakan dalam Suluk Malang menandai pertarungan yang diselesaikan dengan power kekuasaan. Pertarungan antara Ahli Syariat dan Ahli Ma'rifat ini berakhir dengan tragis, dengan dibantainya Syeh Siti Jenar oleh para Wali Songo dengan Back Up penuh Sultan Patah sebagai penguasa Kerajaan Demak.


Puncaknya, para Wali terjebak dalam dukung mendukung suksesi yang melibatkan para Wali untuk berhadapa-hadapan secara langsung. Sepeninggal Sultan Trenggono pada tahun 1546 M para Wali memiliki kandidat yang berbeda-beda sebagai pengisi Tahta yang telah kosong. Sunan Giri memilih Prawoto, Sunan kudus memilih Arya Penangsang dan sunan Kalijaga memilih Jaka Tingkir. Drama dukung mendukung ini benar-benar menyita energi yang cukup besar sehingga melupakan sebuah Nilai Budaya dan sebuah Trdisi pemikiran yang masih belum sempurna yaitu Format Kebudayaan dan Tradisi pemikiran dalam lingkup kekuasaan. Dimana sikap seorang Ulama jika kekuasan telah berada dalam pengaruhnya. Kemenangan Jaka Tingkir mengakibatkan kehancuran Kerajaan Demak. Pusat kerajaan dipindah ke Pajang pada tahun 1560 M dan setelah itu dipindah ke Mataram. Dari mataram inilah peran Ulama sebagai penyeimbang kebudayaan maupun Tradisi pemikiran semakin menghilang, bahkan peran para ulama mulai ditinggalkan dalam setiap setiap kebijaksanaan pemerintahan. Dukungan dari Dewi laut selatan (kanjeng Ratu Kidul atau Nyai lara Kidul) dan Gunung Merapi menjadi pelindung khusus kerajaan mataram sekaligus membentuk Nilai Budaya baru sekaligus Tradisi pemikiran baru. Pendominasian-pendominasian Nilai Budaya serta Tradisi pemikiran menjadi sebuah syarat mutlak bagi kerajaan mataram, kekuasan dengan dengan Trah baru membutuhkan suatu Energi legitamasi yang cukup besar. Dan peran Ulama bisa dianggap sebagai penghambat dalam melakukan pendominasian-pendominsian ini. Legitamasi Kerajaan harus terkuat, cahanya harus terang tidak boleh ada yang menyamainya. Konflik-konflik antara para ulama dan penguasa Mataram sudah dimulai sejak zaman Panembahan Senopati dan pada masa Amangkurat I terjadi pembantaian besar-besaran Ulama karena sebuah alasan Politik.Walaupun telah dicoba oleh fihak-fihak Istana untuk memasukan Kebudayaan Islam dalam berbagai Karya Sastra tetapi para Ulama menanggapinya dengan dingin. Kerajaan Mataram yang semakin memudar, menyempitnya kesempatan berpolitik seiring dengan pendominasian oleh VOC adalah sebuah alasan yang utama dari kalangan elite Istana untuk mengalihkan perhatian kebidang sastra dan budaya. Jadi hubungan antara Kerajaan Demak dengan Pajang ataupun Mataram adalah hubungan tranformasi Kekuasaan dan bukan merupakan Tranformasi Tradisi Pemikiran apalagi Transformasi Nilai Kebudayaan. Sebuah Nilai Kebudayaan ataupun Tradisi Pemikiran dari Para Wali tanah Jawa pada akhirnya menghilang tatkala mereka terprosok dalam lingkungan kekuasaan yang mempunyai Tradisi pemikiran yang Pragmatis.


Tradisi Pemikiran para Wali Tanah Jawa pada era sekarang ini mungkin hanya dapat dihidupkan kembali oleh para ahli warisnya yaitu Pondok Pesantren. Pondok Pesantren diharapkan memiliki kemampuan tinggi untuk mengadakan respons terhadap tantangan-tantangan dan tuntutan-tuntutan hidup dalam konteks ruang dan waktu yang ada. Walaupun tentunya Tradisi Pemikiran yang dibangun oleh Pondok Pesantren sekarang ini jauh lebih rumit. Tetapi bukan tidak mungkin akan melebihi kebesaran pemikiran para Wali pada abad-abad terdahulu. Tantangan terbesar sekarang ini dalam mengaktualisasikan Tradisi Pemikiran para Wali Tanah Jawa adalah sama seperti godaan para Wali pada zaman dahulu yaitu kekuasaan. Walaupun kekuasaan mempunya tujuan untuk lebih mempercepat diterimanya sebuah sebuah Nilai Budaya dan pemikiran kepada masyarakat tetapi mempunyai sebuah resiko keterasingan. Sebab kekuasaan mempunyai batas-batas yang jelas dan membutuhkan pendomonasian-pendominasian sehingga menghambat proses Akulturasi kebudayaan dan pengembangan Tradisi pemikiran dalam sebuah masyarakat yang Pluralistik.


Tahap perkembangan Era Agraris ke Era Industrialisasi tentu melahirkan sebuah Nilai Budaya baru dan Tradisi Pemikiran yang baru. Kedudukan kekuasaan yang lahir dari sebuah proses Demokrasi tentunya juga melahirkan Nilai Budaya dan Tradisi pemikiran yang baru juga. Pondok Pesantren harus menjadi sebuah jembatan kedua Nilai Budaya dan Tradisi pemikiran yang baru secara Kontekstual dinamis. Keseimbangan ini harus dijaga agar tidak terjadi pendominsian-pendominasian yang merugikan masyarakat. Sebuah Kerajaan besar di Demak pernah berdiri dengan sebuah pendekatan kebudayaan oleh para Wali. Berdirinya kerajaan Demak Bintoro adalah tak lepas dari jasa Wali Tanah Jawa. Kerangka berpikir tentang sebuah Nilai Budaya dan Tradisi pemikiran telah diwariskan oleh para wali tanah Jawa. Walaupun kesimpulan yang diambil para Wali setelah kekuasaan berada dalam genggaman menimbulkan keruntuhan kerajaan Demak. Inilah pelajaran sejarah yang sangat berharga bagi generasi selanjutnya untuk lebih memahami Pluralisme dalam lingkup kekuasaan. Kita dapat lebih rasonalitas dalam memahami sepak terjang seorang wali Sekalipun. Bahkan dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada Wali tanah Jawa yang besar jasanya, kita harus berani mengatakan bahwa Keruntuhan Kerajaan demak adalah Kesalahan Para wali Tanah Jawa yang tergoda oleh Cahaya kekuasaan.Semoga saja sebuah Simbol Akulturasi Kebudayaan di Kota Wali Demak yang masih tersisa yaitu Grebeg Idul adha dapat menjadi sebuah jembatan antara Kebudayaan dan Tradisi Pemikiran dalam lingkungan Pemerintah dan diluar Pemerintah. Sehingga apa yang diperoleh masyarakat buka hanya sebuah monument sejarah perjuangan para Wali tanah Jawa atau hanya sekedar upacara penjamasan Kutang ontokusumo dan Keris Kyai Crubuk, apalagi Tansaksi-transaksi ekonomi yang berujung pada kalkulasi Pendapatan Asli Daerah.

Demak. 
http://tourdejava-manazati.blogspot.com


Senin, 03 Januari 2011

Grebeg Besar

 


Grebeg Besar - Eksotika Budaya Demak


Demak merupakan kerajaan Islam pertama dipulau jawa dengan rajanya Raden Fatah.
Disamping sebagai pusat pemerintahan, Demak sekaligus menjadi pusat penyebaran agama
Islam dipulau Jawa. Bukti peninggalan sejarah masih berdiri dengan kokoh sampai sekarang,
yaitu Masjid Agung Demak.
Penyebaran agama Islam di Pulau Jawa dimulai pada abad XV dan dipelopori oleh Wali Sanga,
bahkan salah satu wali tersebut bermukim sampai akhir hayatnya dan dimakamkan di
Kadilangu Demak, yaitu Sunan Kalijaga. Menurut cerita, Kadilangu semula adalah daerah
perdikan sebagai anugrah dari Sultan Fatah kepada Sunan Kalijaga atas jasa-jasanya dalam
mengembangkan agama Islam dan memajukan kerajaan Demak.
Berbagai upaya dilakukan oleh para Wali dalam menyebarluaskan agama Islam. Berbagai
halangan dan rintangan menghadang, salah satu diantaranya adalah masih kuatnya pengaruh
Hindu dan Budha pada masyarakat Demak pada waktu itu. Pada akhirnya agama Islam dapat
diterima masyarakat melalui pendekatan pendekatan para Wali dengan jalan mengajarkan
agama Islam melalui kebudayaan atau adat istiadat yang telah ada.
Setiap tanggal 10 Dzulhijah umat Islam memperingati Hari Raya Idul Adha dengan
melaksanakan Sholat Ied dan dilanjutkan dengan penyembelihan hewan qurban. Pada waktu
itu, dilingkungan Masjid Agung Demak diselenggarakan pula keramaian yang disisipi dengan
syiar-syiar keagamaan, sebagai upaya penyebarluasaan agama Islam oleh Wali Sanga.
Sampai saati ini kegiatan tersebut masih tetap berlangsung, bahkan ditumbuh kembangkan.
Prosesi Grebeg Besar Demak
- Ziarah ke makam Sultan-Sultan Demak & Sunan Kalijaga
Grebeg Besar Demak diawali dengan pelaksanaan ziarah oleh Bupati, Muspida dan segenap
pejabat dilingkungan Pemerintah Kabupaten Demak, masing-masing beserta istri/suami, ke
makam Sultan-Sultan Demak dilingkungan Masjid agung Demak dan dilanjutkan dengan ziarah
ke makam Sunan Kalijaga di Kadilangu. Kegiatan ziarah tersebut dilaksanakan pada jam 16.00
WIB; kurang lebih 10 (sepuluh) hari menjelang tanggal 10 Dzulhijah.
Prosesi Grebeg Besar Demak
  • Ziarah ke makam Sultan-Sultan Demak & Sunan Kalijaga
Grebeg Besar Demak diawali dengan pelaksanaan ziarah oleh Bupati, Muspida dan segenap pejabat dilingkungan Pemerintah Kabupaten Demak, masing-masing beserta istri/suami, ke makam Sultan-Sultan Demak dilingkungan Masjid agung Demak dan dilanjutkan dengan ziarah ke makam Sunan Kalijaga di Kadilangu. Kegiatan ziarah tersebut dilaksanakan pada jam 16.00 WIB; kurang lebih 10 (sepuluh) hari menjelang tanggal 10 Dzulhijah.


  • Pasar Malam Rakyat di Tembiring Jogo Indah
Untuk meramaikan perayaan Grebeg Besar di lapangan Tembiring Jogo Indah digelar pasar malam rakyat yang dimulai kurang lebih 10 (sepuluh) hari sebelum hari raya Idul Adha dan dibuka oleh Bupati Demak setelah ziarah ke makam Sultan-Sultan Demak dan Sunan Kalijaga.



Pasar malam tersebut dipenuhi dengan berbagai macam dagangan, mulai dari barang barang kebutuhan sehari-hari sampai dengan mainan anak, hasil kerajinan, makanan/minuman, permainan anak-anak dan juga panggung pertunjukkan /hiburan.
  • Selamatan Tumpeng Sanga
Selamatan Tumpeng Sanga dilaksanakan pada malam hari menjelang hari raya Idul Adha bertempat di Masjid Agung Demak. Sebelumnya kesembilan tumpeng terebut dibawa dari Pendopo Kabupaten Demak dengan diiringi ulama, para santri, beserta Muspida dan tamu undangan lainnya menuju ke Masjid Agung Demak. Tumpeng yang berjumlah sembilan tersebut melambangkan Wali Sanga. Selamatan ini dilaksanakan dengan harapan agar seluruh masyarakat Demak diberikan berkah keselamatan dan kebahagiaan dunia akhirat dari Allah SWT. Acara selamatn tersebut diawali dengan pengajian umum diteruskan dengan pembacaan doa. Sesudah itu kepada para pengunjung dibagikan nasi bungkus. Pembagian nasi bungkus tersebut dimaksudkan agar para pengunjung tidak berebut tumpeng sanga. Sejak beberapa tahun terakhir tumpeng sanga tidak diberikan lagi kepada para pengunjung dan sebagai gantinya dibagikan nasi bungkus tersebut.



Pada saat yang sama di Kadilangu juga dilaksanakan kegiatan serupa, yaitu Selamatan Ancakan, selamatan terebut bertujuan untuk memohon berkah kepada Allah SWT agar sesepuh dan seluruh anggota Panitia penjamasan dapat melaksanakan tugas dengan lancar tanpa halangan suatu apapun juga serta untuk menghormati dan menjamu para tamu yang bersilaturahmi dengan sesepuh.
  • Slolat Ied
Pada tanggal 10 Dzulhijah Masjid Agung dipadati oleh umat Islam yang akan melaksanakan Sholat Ied, pada saat-saat seperti ini Masjid Agung Demak sudah tidak dapat lagi menampung para jamaah, karena penuh sesak dan melebar ke jalan raya, bahkan sebagian melaksanakan sholat di alun-alun. Pada kesempatan tersebut Bupati Demak beserta Muspida melaksanakan sholat di Masjid Agung Demak dan dilajutkan dengan penyerahan hewan qurban dari Bupati Demak kepada panitia.
  • Penjamasan Pusaka Peninggalan Sunan Kalijaga
Setelah selesai Sholat Ied di makam Sunan Kalijaga, Kadilangu, dilaksanakan penjamasan pusaka peninggalan Sunan Kalijaga. Kedua pusaka tersebut adalah Kutang Ontokusuma dan Keris Kyai Crubuk. Konon Kutang Ontokusumo adalah berujud ageman yang dikiaskan pegangan santri yang dipakai sunan kalijaga setiap kali berdakwah.
Penjamasan pusaka-pusaka tersebut didasari oleh wasiat sunan kalijaga sebagai berikut””agemanku, besuk yen aku wis dikeparengake sowan engkang Maha Kuwaos, salehna neng duwur peturonku. Kajaba kuwi sawise uku kukut, agemanku jamas ana.” Dengan dilaksanakan penjamasan tersebut, diharapkan umat Islam dapat kembali ke fitrahnya dengan mawas diri/mensucikan diri serta meningkatkan iman dan taqwa Kepada allah SWT.
Prosesi penjamasan tersebut diawali dari Pendopo Kabupaten Demak, dimana sebelumnya dipentaskan pagelaran tari Bedhoyo Tunggal Jiwo. Melambangkan “Manunggale kawula lan gusti”, yang dibawakan oleh 9 (sembilan) remaja putri. Dalam perjalanan ke Kadilangu minyak jamas dikawal oleh bhayangkara kerajaan Demak Bintoro “Prajurit Patangpuluhan” dan diiringi kesenian tradisional Demak. Bersamaan dengan itu Bupati beserta rombongan menuju Kadilangu dengan mengendarai kereta berkuda.
Penjamasan pusaka peninggalan Sunan Kalijaga dilaksanakan oleh petugas dibawah pimpinan Sesepuh Kadilangu di dalam cungkup gedong makam Sunan Kalijaga Kalijaga. Sesepuh dan ahli waris percaya, bahwa ajaran agama Islam dari Rasulullah Muhammad SAW dan disebar luaskan oleh Sunan Kalijaga adalah benar. Oleh karena itu penjamasan dilakukan dengan mata tertutup. Hal tersebut mengandung makna, bahwa penjamas tidak melihat dengan mata telanjang, tetapi melihat dengan mata hati. Artinya ahli waris sudah bertekad bulat untuk menjalankan ibadah dan mengamalkan agama Islam dengan sepenuh hati.
Dengan selesainya penjamasan pusaka peninggalan Sunan Kalijaga tersebut, maka berakhir pulalah rangkaian acara Grebeg Besar DemaK.